Laju perkembangan seni rupa Indonesia mendapat pengaruh yang cukup 
besar dari dinamikan sosial, politik, dan ekonomi negara. Perkembangan 
ini tidak hanya berkutat pada perubahan kecenderungan karya, namun juga 
disertai dengan perkembangan institusi seni rupa pun yang semakin 
kompleks. Pada masa perintisan seni rupa Indonesia, jauh ketika 
kolonialisme Belanda masih merjalaela di Indonesia, muncul seorang Raden
 Saleh sebagai seorang pelukis dari keluaraga ningrat di Indonesia yang 
kemampuan melukisnya diperoleh dari A. A. J. Payen. Proses pewarisan 
budaya Barat ini dilanjutkan dalam proyek politik etis Belanda pada abad
 ke-20. Wujud dukungan Belanda dalam perintisan medan seni rupa 
Indonesia  terlihat pada didirikannya Batavische Kuntskring, yang
 kemudian memicu lahirnya PERSAGI dengan corak nasionalisme-nya sebagai 
bentuk oposisi akan laju dominasi budaya Barat di Indonesia. Selalin 
itu, salah satu tujuan didirikan PERSAGI adalah untuk kempentingan 
penjualan karya para anggotanya. Batavische Kunstkring dan 
PERSAGI kemudia dibubarkan pada masa pendudukan Jepang, digantikan oleh 
POETRA (Pusat Tenaga Rakyat) yang kemudian berubah menjadi Keimin Bunka Sidhoso (Pusat
 Pencerah Kebudayaan) yang juga memfasilitasi seniman Indonesia dengan 
beberapa penghargaan dari pemerintah Jepang dan peluang-peluang pameran 
dengan kecenderungan karya yang mendukung propaganda Jepang. Setelah 
Indonesia merdeka, muncul beberapa kelompok seniman seperti SIM (Seniman
 Indonesia Muda) dan Perkumpulan Pelukis Rakyat yang tokoh-tokohnya 
mencetuskan untuk mendirikan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di 
Yogyakarta pada tahun 1948, sebagai bentuk elaborasi kegiatan kursus 
menggambar yang mereka lakukan. Sedangakan pada tahun 1950, di Bandung 
berdiri Balai Perguruan Tinggi Guru Gambar. ASRI kemudian berubah 
menjadi ISI (Institut Seni Indonesia), sedangkan Balai Perguruan Tinggi 
Guru Gambar kemudian berganti nama menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain
 ITB.
Situasi sosial dan politik Indonesia yang masih belum stabil karena 
umur negara yang masih muda menyebabkan perkembangan seni rupa tidak 
terlalu stabil, salah satunya disebabkan oleh ideologi komunis LEKRA 
yang hanya mengakomodir estetika Marxis-Leninis . Periode awal 
kemerdekaan / zaman revolusi (1945-1965) juga dikenal sebagai ‘Periode 
Sanggar’, terbukti dengan banyaknya sanggar yang muncul di Yogyakarta. 
Selain, itu pada periode ini muncul SIM (Seniman Indonesia Muda) pda 
tahun 1946 di Madiun yang gerakan-gerakannya cenderung memperlihatkan 
propaganada anti-Belanda. Sedangkan di Bandung, kecenderungan seni lebih
 berpusat pada estetika modern yang logis dan rasional, karenanya 
Bandung sempat dijuluki Laboratorium Barat di Indonesia. Pada periode 
ini pemerintah hanya sanggup mendirikan satu tempat pameran, yakni Balai
 Budaja, Jakarta Pusat.
Situasi sosial politik yang lebih stabil karena minimnya konfllik 
baik dari luar maupun dalam negeri pada masa pemerintahan Orde baru 
menyebabkan perkembangan seni rupa Indonesia menjadi lebih stabil, 
diiringi dengan perkembangan ekonomi Indonesia yang cenderung pesat 
karena industrialisasi dan pembangunan ekonomi. Hal ini kemudian 
memnculkan hierarki kelas menengah di masyarakat yang menyuburkan market seni
 rupa Indonesia. Kondisi Balai Budaja yang tidak lagi diperhatikan 
pemerintah kemudian kemudian mencetuskan ide untuk mendirikan DKJ (Dewan
 Kesenian Jakarta) pada tahun 1968, yang disertai dengan pembangunan TIM
 (Tama Ismail Marzuki) di bulan November pada tahun yang sama. Selalin 
TIM, pemerintah juga mendirikan BSR (Balai Seni Rupa) yang kemudian pada
 masa ini lebih dikenal sebagai Galeri Nasional. Pada sekitar tahun 
1980-an, pemerintah dengan tidak mampu mengakomodir kebutuhan 
infrastruktur seni seperti kolektor, art dealers,dan lainya, 
terutama bagi seniman muda. Kemudian muncul banyak galeri swasta seperti
 Mon Décor, Edwin Gallery, dan Andy Gallery di Indonesia sebagai bentuk 
partisipasi masyarkat secara langsung teradap perkembangan seni. Menurut
 Sanento Yuliman, pesatnya perkembangan seni rupa di Indonesia pada saat
 itu antara lain ditandai dengan bermunculannya sejumlah galeri sebagai 
pranata distribusi lukisan yang telah membuat pasar lukisan menjadi 
terbuka dan pada akhirnya mendorong para pelukis untuk produktif 
berkarya (Warta Ekonomi, terbit 12 Februari 1990). Hal ini semakin 
berkembang pada dekade 1990-an, ketika mengkoleksi karya seni menjadi trend
 di kalangan eksekutif, yang juga didukung oleh perkembangan ekonomi 
Indonesia yang semakin pesat karena dibukanya pasar bebas dan gerbang 
investasi asing di Indonesia. Proses ini kemudian mencetuskan boom seni
 rupa yang semakin menyemarakkan pasar di Indonesia. Kembali menurut 
Sanento Yuliman, fenomena boom seni lukis yang ramai dijadikan investasi
 merupakan salah satu fenomena bergesernya karya seni dari sesuatu yang 
sarat nilai estetis-filosofis menjadi barang komoditi. Boom seni 
lukis menyebabkan melonjaknya harga lukisan di pasar, kekacauan harga 
terjadi ketika harga lukisan tidak menghiraukan seniman senior-junor. 
Seniman muda kemudian menjadi selebritis baru dalam medan seni rupa 
Indonesia (Sanento: 2004).